Minggu, 13 Oktober 2013

Cendana ( Santalum album )

Cendana, atau cendana wangi, merupakan pohon penghasil kayu cendana dan minyak cendana. Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, campuran parfum, serta sangkur keris (warangka). Kayu yang baik bisa menyimpan aromanya selama berabad-abad. Konon di Sri Lanka kayu ini digunakan untuk membalsam jenazah putri-putri raja sejak abad ke-9. Di Indonesia, kayu ini banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Timor, meskipun sekarang ditemukan pula di Pulau Jawa dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.

Cendana adalah tumbuhan parasit pada awal kehidupannya. Kecambahnya memerlukan pohon inang untuk mendukung pertumbuhannya, karena perakarannya sendiri tidak sanggup mendukung kehidupannya. Karena prasyarat inilah cendana sukar dikembangbiakkan atau dibudidayakan.

Kayu cendana wangi (Santalum album) kini sangat langka dan harganya sangat mahal. Kayu yang berasal dari daerah Mysoram di India selatan biasanya dianggap yang paling bagus kualitasnya. Di Indonesia, kayu cendana dari Timor juga sangat dihargai. Sebagai gantinya sejumlah pakar aromaterapi dan parfum menggunakan kayu cendana jenggi (Santalum spicatum). Kedua jenis kayu ini berbeda konsentrasi bahan kimia yang dikandungnya, dan oleh karena itu kadar harumnya pun berbeda.

Kayu cendana dianggap sebagai obat alternatif untuk membawa orang lebih dekat kepada Tuhan. Minyak dasar kayu cendana, yang sangat mahal dalam bentuknya yang murni, digunakan terutama untuk penyembuhan cara Ayurveda, dan untuk menghilangkan rasa cemas.
BUDIDAYA CENDANA
Tanaman ini bisa tumbuh pada ketinggian 50 -1200 m dpl, dengan curah hujan 625 1625 mm/th dengan bulan kering 9-10 bulan. Saat ini populasi Cendana sangat mengkhawatirkan, terancam punah. Dari tahun 1987 – 1997, populasi pohono Cendana di NTT mengalami penurunan hingga 53,96%.

Kata Cendana, identik dengan wewangian untuk perawatan tubuh wanita. Ada minyak Cendana, rempah-rempah, aromatherapy, campuran parfum atau bahan dupa. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur, seperti Pulau Timor, Sumba, Alor, Solor, Pantar, Flores, Roti dan pulau-pulau lainnya. Cendana juga bisa dijumpai di Gunung Kidul, Imogiri, Kulon Progo, Bondowoso dan Sulawesi.

Cendana adalah, tanaman komoditi dan potensial bagi perekonomian di Indonesia. Nilai ekonomi itu didapat dari kandungan minyak (santalo) dalam kayu yang beraroma wangi yang khas. Melalui penyulingan, minyak Cendana dapat digunakan sebagai perawatan tubuh, obat-obatan dan bahan minyak wangi atau parfum tadi. Kayunya juga bernilai ekonomi, dapat digunakan sebagai kerajinan ukiran, patung, kipas, tasbih dan lain-lain.

Saat ini minyak Cendana banyak di ekspor ke Eropa, Amerika, China, Korea, Taiwan dan Jepang. Untuk produk kerajinan kayunya, masih untuk konsumsi dalam negeri saja. Setiap tahun, kebutuhan minyak Cendan dunia, sekitar 200 ton. Dari jumlah tadi, kebanyakan disuplai dari India, yait 100 ton (50 %). Sisanya dari Indonesia, Australia, Kaledonia Baru dan Fiji, masing-masing mensuplai 20 ton, jadi masing kekurangan sekitar 80 ton per tahunnya.

Jadi, Indonesia masih punya peluang untuk memenuhi kebutuhan Cendana dunia.

Cendana, Antara Punah dan Pelestarian
CENDANA merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang pernah terkenal di seantero dunia. Tanah NTT juga mencatat hal itu. Keterkenalan cendana bukan karena namanya tetapi karena wewangiannya. Karena itu pula cendana di mata sebagian orang Timor dikenal sebagai pohon wangi sesuai nama kampungnya: haumeni. Tetapi, sebagian orang Timor juga menyebutnya dengan nama: hau tam lasi yang secara harafiah dapat dimengerti sebagai kayu pembawa masalah/perkara. Makna terakhir muncul bersamaan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menutup pemanfaatan cendana oleh masyarakat. Sebab, dalam kenyataannya, banyak orang yang menjadi korban kebijakan pemerintah terkait cendana. Ada yang dihukum secara adat melalui penyelesaian secara kekeluargaan.

Dalam urusan ini, warga yang dianggap melanggar aturan/kebijakan tentang pemanfaatan cendana, dihukum denda dengan membayar sarung tenunan daerah, binatang dan uang dalam jumlah tertentu. Tetapi, ada warga yang terpaksa harus menjalami proses hukum mulai dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan. Padahal, kalau mau dibilang, bila cendana dimanfaatkan secara baik oleh petani akan mendatangkan keuntungan ekonomis yang tidak sedikit bagi masyarakat. Sebaliknya, yang untung adalah pemerintah maupun oknum aparat penegak hukum. Sebab, bila oknum aparat pemerintah dan penegak hukum ketahuan menjual cendana, pasti tidak diproses secara hukum. Hal itulah yang kemudian menjadi ironi bagi masyarakat.

Sebaliknya, cendana sebagai pohon wangi, haumeni, sebetulnya merupakan salah satu komoditi utama perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu. Namun, tanpa disadari, populasi cendana semakin hari semakin menurun. Sebab, ternyata tidak ada keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian.


Padahal, jauh sebelumnya, upaya-upaya penyelamatan sudah dilakukan melalui budidaya cendana. Malahan sudah lebih dari seratus tahun lalu, meskipun dalam skala kecil. Pada abad ke-20, beberapa lokasi pernah melakukan pengembangan cendana antara lain di Bu’at (Timor Tengah Selatan/TTS) pada tahun 1958, BKPH Buleleng Barat pada 1967, dan sekitar Puri Uluwatu pada 1982. Upaya serupa pernah dilakukan di Kediri tepatnya di Gunung Klotok dan Sanggrahan), Malang di Jantur dan Songgoriti, Karangmojo di Gunung Kidul, Ngawi, Bromo, Karanganyar, Imogiri dan Jember di Sempolan.

Menurut sejumlah ahli botani, tanaman cendana malahan sudah dibudidayakan di TTS sejak tahun 1924. Yang menjadi persoalan saat ini, populasi tanaman cendana semakin hari semakin menurun baik di hutan alam maupun di lahan petani. Penurunan populasi ini menyebabkan penurunan produksi dan nilai ekspor.

Dalam penelitian yang dilakukan Meine van Noordwijk dkk pada 2001, terungkap bahwa penyebab penurunan populasi cendana di dua area itu karena: Pertama, pembakaran hutan. Pembakaran hutan terjadi setiap tahun. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sistem pertanian tradisional tebas-bakar yang masih dipegang teguh measyarakat setempat saat membuka ladang. Sistem bakar ikut memusnahkan tanaman cendana.

Kedua, rendahnya harga cendana. Rendahnya harga cendana sesuai penetapan pemerintah. Hal ini ikut mendorong penebangan liar, perdagangan liar, penyelundupan dan pencurian. Dalam banyak praktek, harga cendana yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 7.000,00/kg. Sedangkan pengusaha menawarkan harga Rp 15.000-25.000,00/kg. Di sini terlihat, betapa rendahnya harga cendana yang ditetap pemerintah dibanding harga yang ditawarkan pengusaha. Secara tidak langsung, cendana tidak mempunyai manfaat ekonomis apa pun bagi petani.

Ketiga, penggalian akar cendana. Penggalian akar cendana banyak dilakukan masyarakat karena bagian akar mempunyai kandungan minyak cendana yang paling tinggi sehingga harganya termahal. Akibat pengambilan akar tersebut, banyak tegakan cendana yang roboh dan regenerasi vegetatif secara alami dengan tunas akar menjadi terganggu.

Keempat, eksploitasi berlebihan. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan selama ini sangat berlebihan. Hal itu diperparah dengan upaya pembiaran atau tidak ada upaya penanaman kembali. 
Kelima, kebijakan yang merugikan. Dalam kenyataan, kebijakan-kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) bukannya menguntungkan petani atau masyarakat tetapi banyak merugikan. Karena kebijakan yang ada dirasa tidak menguntungkan, masyarakat kemudian memusnahkan semai cendana di lahan miliknya baik di pekarangan, kebun maupun pada sistem ladang berpindah.

Keenam, pertumbuhan lambat. Masa tunggu panen cendana ternyata cukup lama, yakni berkisar antara 30-35 tahun. Hal ini membuat petani enggan menanam cendana. Ketujuh, anggapan masyarakat. Ada anggapan masyarakat yang berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi bahwa cendana tidak bisa dibudidayakan, melainkan tumbuh secara alami. Hal ini tentu tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang teknologi budidaya cendana itu sendiri.

Asal tahu saja, beberapa daerah di NTT yang pernah ditumbuhi cendana adalah Timor, Sumba, Flores, Alor, Solor, Wetar, Lomblen dan Rote. Cendana juga sudah menyebar di daerah-daerah seperti Bondowoso dan Jember (Jawa), Bali, Gunung Kidul (DIY), Sulawesi dan Maluku.

Cendana juga ditemukan di India Selatan. Penyebaran cendana di kawasan itu bermula dari Uttar Pradesh ke bagian selatan Karnataka dan ke barat daya Andhra Pradesh juga ke Tamil Nadhu dan Kerala. Selanjutnya cendana diperkenalkan ke beberapa negara tropik seperti Kepulauan Mascarene, China, Sri Lanka dan Taiwan.

Cendana diperkenalkan di China bersamaan dengan datangnya agama Budha, kemudian menyebar dari Tibet, Yunnan dan daerah-daerah pantai menuju ke daerah pedalaman. Saat ini bahkan cendana sudah dibudidayakan di Afrika, Kepulauan Pasifik dan Australia.

Cendana dapat tumbuh di daerah tepi laut hingga daerah pegunungan pada ketinggian 1.500 meter dari permukaan air laut dengan curah hujan antara 500-3.000 milimeter per tahun. Kondisi optimal untuk pertumbuhan adalah pada ketinggian antara 600-1.000 meter di atas permukaan air laut dan curah hujan antara 600-1.000 milimeter per tahun dengan bulan kering yang panjang antara 9-10 bulan.

Cendana yang tumbuh di daerah dengan curah hujan tinggi tidak menghasilkan kayu dengan kualitas bagus walaupun secara vegetatif tumbuhnya memuaskan. Suhu udara yang mendukung pertumbuhan cendana antara 10-35 derajat celcius. Sedangkan tipe iklim yang sesuai adalah tipe iklim D dan E.

Pada tingkat semai cendana sangat peka terhadap suhu tinggi dan kekeringan sehingga tanaman cendana sangat membutuhkan naungan sekitar 40-50 persen. Sedangkan lingkungan yang dibutuhkan, semai cendana mudah ditemukan di bawah lantai hutan ampupu (eucalyptus urophylla), hue (ecalyptus alba), atau kabesak (acacia leucophloea).

Dari tingkat semai hingga umur 3-4 tahun naungan yang dibutuhkan semakin berkurang. Cendana dewasa bahkan membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi. Cendana dewasa pada umumnya ditemukan di pinggiran atau tepi kawasan hutan, dan sangat jarang ditemukan dalam hutan lebat.

Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan cendana adalah berdrainase baik (umumnya di lahan kering), bertekstur lempung (sedang) dari bahan induk batu (topografi karst), batu pasir gampingan, batu lanau maupun vulkanik basa dan tanahnya dangkal. Pada tanah dangkal, berbatu-baru dan kurang subur, cendana dapat tumbuh dan menghasilkan kayu dengan kualitas terbaik. Tetapi bagaimana menyelamatkan cendana dari ancaman kepunahan? Mari kita rame-rame melestarikan cendana. Budidaya adalah langkah yang tepat untuk menyelamatkan tanaman cendana.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.