Cendana, atau cendana wangi, merupakan pohon penghasil kayu cendana dan
minyak cendana. Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa,
aromaterapi, campuran parfum, serta sangkur keris (warangka). Kayu yang
baik bisa menyimpan aromanya selama berabad-abad. Konon di Sri Lanka
kayu ini digunakan untuk membalsam jenazah putri-putri raja sejak abad
ke-9. Di Indonesia, kayu ini banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur,
khususnya di Pulau Timor, meskipun sekarang ditemukan pula di Pulau Jawa
dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.
Cendana adalah tumbuhan parasit pada awal kehidupannya. Kecambahnya
memerlukan pohon inang untuk mendukung pertumbuhannya, karena
perakarannya sendiri tidak sanggup mendukung kehidupannya. Karena
prasyarat inilah cendana sukar dikembangbiakkan atau dibudidayakan.
Kayu cendana wangi (Santalum album) kini sangat langka dan harganya
sangat mahal. Kayu yang berasal dari daerah Mysoram di India selatan
biasanya dianggap yang paling bagus kualitasnya. Di Indonesia, kayu
cendana dari Timor juga sangat dihargai. Sebagai gantinya sejumlah pakar
aromaterapi dan parfum menggunakan kayu cendana jenggi (Santalum
spicatum). Kedua jenis kayu ini berbeda konsentrasi bahan kimia yang
dikandungnya, dan oleh karena itu kadar harumnya pun berbeda.
Kayu cendana dianggap sebagai obat alternatif untuk membawa orang lebih
dekat kepada Tuhan. Minyak dasar kayu cendana, yang sangat mahal dalam
bentuknya yang murni, digunakan terutama untuk penyembuhan cara
Ayurveda, dan untuk menghilangkan rasa cemas.
BUDIDAYA CENDANA
Tanaman ini bisa tumbuh pada ketinggian 50 -1200 m dpl, dengan curah
hujan 625 1625 mm/th dengan bulan kering 9-10 bulan. Saat ini populasi
Cendana sangat mengkhawatirkan, terancam punah. Dari tahun 1987 – 1997,
populasi pohono Cendana di NTT mengalami penurunan hingga 53,96%.
Kata Cendana, identik dengan wewangian untuk perawatan tubuh wanita. Ada
minyak Cendana, rempah-rempah, aromatherapy, campuran parfum atau bahan
dupa. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi
Nusa Tenggara Timur, seperti Pulau Timor, Sumba, Alor, Solor, Pantar,
Flores, Roti dan pulau-pulau lainnya. Cendana juga bisa dijumpai di
Gunung Kidul, Imogiri, Kulon Progo, Bondowoso dan Sulawesi.
Cendana adalah, tanaman komoditi dan potensial bagi perekonomian di
Indonesia. Nilai ekonomi itu didapat dari kandungan minyak (santalo)
dalam kayu yang beraroma wangi yang khas. Melalui penyulingan, minyak
Cendana dapat digunakan sebagai perawatan tubuh, obat-obatan dan bahan
minyak wangi atau parfum tadi. Kayunya juga bernilai ekonomi, dapat
digunakan sebagai kerajinan ukiran, patung, kipas, tasbih dan lain-lain.
Saat ini minyak Cendana banyak di ekspor ke Eropa, Amerika, China,
Korea, Taiwan dan Jepang. Untuk produk kerajinan kayunya, masih untuk
konsumsi dalam negeri saja. Setiap tahun, kebutuhan minyak Cendan dunia,
sekitar 200 ton. Dari jumlah tadi, kebanyakan disuplai dari India, yait
100 ton (50 %). Sisanya dari Indonesia, Australia, Kaledonia Baru dan
Fiji, masing-masing mensuplai 20 ton, jadi masing kekurangan sekitar 80
ton per tahunnya.
Jadi, Indonesia masih punya peluang untuk memenuhi kebutuhan Cendana dunia.
Cendana, Antara Punah dan Pelestarian
CENDANA merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang pernah
terkenal di seantero dunia. Tanah NTT juga mencatat hal itu.
Keterkenalan cendana bukan karena namanya tetapi karena wewangiannya.
Karena itu pula cendana di mata sebagian orang Timor dikenal sebagai
pohon wangi sesuai nama kampungnya: haumeni. Tetapi, sebagian orang
Timor juga menyebutnya dengan nama: hau tam lasi yang secara harafiah
dapat dimengerti sebagai kayu pembawa masalah/perkara. Makna terakhir
muncul bersamaan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menutup
pemanfaatan cendana oleh masyarakat. Sebab, dalam kenyataannya, banyak
orang yang menjadi korban kebijakan pemerintah terkait cendana. Ada yang
dihukum secara adat melalui penyelesaian secara kekeluargaan.
Dalam urusan ini, warga yang dianggap melanggar aturan/kebijakan tentang
pemanfaatan cendana, dihukum denda dengan membayar sarung tenunan
daerah, binatang dan uang dalam jumlah tertentu. Tetapi, ada warga yang
terpaksa harus menjalami proses hukum mulai dari penyidikan, penuntutan
hingga pemeriksaan di pengadilan. Padahal, kalau mau dibilang, bila
cendana dimanfaatkan secara baik oleh petani akan mendatangkan
keuntungan ekonomis yang tidak sedikit bagi masyarakat. Sebaliknya, yang
untung adalah pemerintah maupun oknum aparat penegak hukum. Sebab, bila
oknum aparat pemerintah dan penegak hukum ketahuan menjual cendana,
pasti tidak diproses secara hukum. Hal itulah yang kemudian menjadi
ironi bagi masyarakat.
Sebaliknya, cendana sebagai pohon wangi, haumeni, sebetulnya merupakan
salah satu komoditi utama perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu.
Namun, tanpa disadari, populasi cendana semakin hari semakin menurun.
Sebab, ternyata tidak ada keseimbangan antara pemanfaatan dan
pelestarian.
Padahal, jauh sebelumnya, upaya-upaya penyelamatan sudah dilakukan
melalui budidaya cendana. Malahan sudah lebih dari seratus tahun lalu,
meskipun dalam skala kecil. Pada abad ke-20, beberapa lokasi pernah
melakukan pengembangan cendana antara lain di Bu’at (Timor Tengah
Selatan/TTS) pada tahun 1958, BKPH Buleleng Barat pada 1967, dan sekitar
Puri Uluwatu pada 1982. Upaya serupa pernah dilakukan di Kediri
tepatnya di Gunung Klotok dan Sanggrahan), Malang di Jantur dan
Songgoriti, Karangmojo di Gunung Kidul, Ngawi, Bromo, Karanganyar,
Imogiri dan Jember di Sempolan.
Menurut sejumlah ahli botani, tanaman cendana malahan sudah
dibudidayakan di TTS sejak tahun 1924. Yang menjadi persoalan saat ini,
populasi tanaman cendana semakin hari semakin menurun baik di hutan alam
maupun di lahan petani. Penurunan populasi ini menyebabkan penurunan
produksi dan nilai ekspor.
Dalam penelitian yang dilakukan Meine van Noordwijk dkk pada 2001,
terungkap bahwa penyebab penurunan populasi cendana di dua area itu
karena: Pertama, pembakaran hutan. Pembakaran hutan terjadi setiap
tahun. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sistem pertanian tradisional
tebas-bakar yang masih dipegang teguh measyarakat setempat saat membuka
ladang. Sistem bakar ikut memusnahkan tanaman cendana.
Kedua, rendahnya harga cendana. Rendahnya harga cendana sesuai penetapan
pemerintah. Hal ini ikut mendorong penebangan liar, perdagangan liar,
penyelundupan dan pencurian. Dalam banyak praktek, harga cendana yang
ditetapkan pemerintah sebesar Rp 7.000,00/kg. Sedangkan pengusaha
menawarkan harga Rp 15.000-25.000,00/kg. Di sini terlihat, betapa
rendahnya harga cendana yang ditetap pemerintah dibanding harga yang
ditawarkan pengusaha. Secara tidak langsung, cendana tidak mempunyai
manfaat ekonomis apa pun bagi petani.
Ketiga, penggalian akar cendana. Penggalian akar cendana banyak
dilakukan masyarakat karena bagian akar mempunyai kandungan minyak
cendana yang paling tinggi sehingga harganya termahal. Akibat
pengambilan akar tersebut, banyak tegakan cendana yang roboh dan
regenerasi vegetatif secara alami dengan tunas akar menjadi terganggu.
Keempat, eksploitasi berlebihan. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan
selama ini sangat berlebihan. Hal itu diperparah dengan upaya pembiaran
atau tidak ada upaya penanaman kembali.
Kelima, kebijakan yang
merugikan. Dalam kenyataan, kebijakan-kebijakan pemerintah daerah
melalui Peraturan Daerah (Perda) bukannya menguntungkan petani atau
masyarakat tetapi banyak merugikan. Karena kebijakan yang ada dirasa
tidak menguntungkan, masyarakat kemudian memusnahkan semai cendana di
lahan miliknya baik di pekarangan, kebun maupun pada sistem ladang
berpindah.
Keenam, pertumbuhan lambat. Masa tunggu panen cendana ternyata cukup
lama, yakni berkisar antara 30-35 tahun. Hal ini membuat petani enggan
menanam cendana. Ketujuh, anggapan masyarakat. Ada anggapan masyarakat
yang berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi bahwa cendana
tidak bisa dibudidayakan, melainkan tumbuh secara alami. Hal ini tentu
tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang
teknologi budidaya cendana itu sendiri.
Asal tahu saja, beberapa daerah di NTT yang pernah ditumbuhi cendana
adalah Timor, Sumba, Flores, Alor, Solor, Wetar, Lomblen dan Rote.
Cendana juga sudah menyebar di daerah-daerah seperti Bondowoso dan
Jember (Jawa), Bali, Gunung Kidul (DIY), Sulawesi dan Maluku.
Cendana juga ditemukan di India Selatan. Penyebaran cendana di kawasan
itu bermula dari Uttar Pradesh ke bagian selatan Karnataka dan ke barat
daya Andhra Pradesh juga ke Tamil Nadhu dan Kerala. Selanjutnya cendana
diperkenalkan ke beberapa negara tropik seperti Kepulauan Mascarene,
China, Sri Lanka dan Taiwan.
Cendana diperkenalkan di China bersamaan dengan datangnya agama Budha,
kemudian menyebar dari Tibet, Yunnan dan daerah-daerah pantai menuju ke
daerah pedalaman. Saat ini bahkan cendana sudah dibudidayakan di Afrika,
Kepulauan Pasifik dan Australia.
Cendana dapat tumbuh di daerah tepi laut hingga daerah pegunungan pada
ketinggian 1.500 meter dari permukaan air laut dengan curah hujan antara
500-3.000 milimeter per tahun. Kondisi optimal untuk pertumbuhan adalah
pada ketinggian antara 600-1.000 meter di atas permukaan air laut dan
curah hujan antara 600-1.000 milimeter per tahun dengan bulan kering
yang panjang antara 9-10 bulan.
Cendana yang tumbuh di daerah dengan curah hujan tinggi tidak
menghasilkan kayu dengan kualitas bagus walaupun secara vegetatif
tumbuhnya memuaskan. Suhu udara yang mendukung pertumbuhan cendana
antara 10-35 derajat celcius. Sedangkan tipe iklim yang sesuai adalah
tipe iklim D dan E.
Pada tingkat semai cendana sangat peka terhadap suhu tinggi dan
kekeringan sehingga tanaman cendana sangat membutuhkan naungan sekitar
40-50 persen. Sedangkan lingkungan yang dibutuhkan, semai cendana mudah
ditemukan di bawah lantai hutan ampupu (eucalyptus urophylla), hue
(ecalyptus alba), atau kabesak (acacia leucophloea).
Dari tingkat semai hingga umur 3-4 tahun naungan yang dibutuhkan semakin
berkurang. Cendana dewasa bahkan membutuhkan intensitas cahaya matahari
tinggi. Cendana dewasa pada umumnya ditemukan di pinggiran atau tepi
kawasan hutan, dan sangat jarang ditemukan dalam hutan lebat.
Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan cendana adalah berdrainase
baik (umumnya di lahan kering), bertekstur lempung (sedang) dari bahan
induk batu (topografi karst), batu pasir gampingan, batu lanau maupun
vulkanik basa dan tanahnya dangkal. Pada tanah dangkal, berbatu-baru dan
kurang subur, cendana dapat tumbuh dan menghasilkan kayu dengan
kualitas terbaik. Tetapi bagaimana menyelamatkan cendana dari ancaman
kepunahan? Mari kita rame-rame melestarikan cendana. Budidaya adalah
langkah yang tepat untuk menyelamatkan tanaman cendana.
0 komentar:
Posting Komentar